goresan pena, Wajah Rembulan

Yusuf Bimbi
Oleh -
0


Wajah Rembulan



Malam ini ingin bercerita tentang wajah rembulan yang dahulu pernah ditunjukkan padaku oleh seorang yang aku kasihi, di sebuah malam saat aku bercerita tentang banyaknya kesulitan hidupku padamu, dan tentang remuk redam, biru-biru luka hatiku.


Saat itu aku tak begitu mengerti, apa hubungannya wajah teduh sang rembulan itu dengan liku-liku dan hitam putih kehidupan ini, seakan tiada makna seolah engkau hanya membuat beberapa karangan palsu dengan majas-majas personifikasi dan hiperbola. 


Tapi kemudian di lain hari dengan sebuah perenungan akhirnya aku bisa mendapatkan sebuah inspirasi jikalaulah rembulan itu ibarat seorang gadis yang selalu sendiri tiada berkawan, tegar dan tenang dalam segala masalahnya. Hanya sendiri saja menghadapinya.


Dan baiknya aku yang terlahir sebagai lelaki yang seharusnya menjadi pengayommu, agar lebih kuat dari itu semua, tidak mudah menyerah dan harus selalu tegar, meskipun semua beban dunia dipindahkan kepundakku.


Rembulan itu saja tak pernah lari mencari bantuan kepada yang lain lain. Dia bangga dengan eksistensinya sebagai rembulan yang sendiri. Sebab kalau saja ia menemukan teman, maka ia akan menjadi bintang-bintang. Menjadi kecil dan tak dikenal.


Rembulan itu juga adalah sebagai penyelamat dalam kegelapan, bersinar dengan cahaya keperakan, tidak menyilaukan sama sekali, sehingga semua orang bisa menikmatinya, terbalik dengan kenyataan tentang matahari, yang bahkan dalam sebuah canda orang berkata, tak perlu ada matahari, karena siang telah terang.


Tetapi rembulan itu tetap dinanti, setiap malam orang menghitung dengan sabar bila rembulan itu akan purnama, untuk kemudian membuat puisi-puisi indah tentang purnama, tentang keindahannya, dan anehnya, seolah semua wanita-wanita cantik tidak akan sempurna kecantikannya, tanpa sanjungan dengan sebutan “oh dia yang berwajah bagai rembulan”.


Kasih, terima kasih telah mendampingiku dengan setia. Kinipun aku tak pernah lagi bercerita tentang berat bebanku, aku malu pada rembulan yang sendiri itu. Biarlah kukubur jauh-jauh dan kusembunyikan di ujung dunia. 


Tentang takdir ini, aku ikhlas, dan dan kusadari tiada yang kebetulan tentang segala apa yang menimpa biduk rumah tangga dan kehidupan kita. Pastilah tak pernah salah apa yang tertulis. Harus kusyukuri karena bagaimanapun juga, masih banyak orang lain yang lebih tak beruntung.



Kasih, selalu kuberdo’a pada Tuhan, kiranya nasib baik akan selalu bersama kita, sampai ke anak cucu. Dan biarlah suatu saat aku akan menunjukkan rembulan yang sama itu. Dengan cara kau menunjukkannya kepadaku, di suatu malam. Ya di suatu malam.



Posting Komentar

0Komentar

Komentar Anda

Posting Komentar (0)