Cerpen, Lelaki Yang Takut Mati

Yusuf Bimbi
Oleh -
0
Melihat banyaknya berita-berita di televisi, tentang kecelakaan pesawat terbang, kecelakaan mobil yang jatuh di jurang, tentang orang-orang yang mati dibegal, dirampok, membuat lelaki itu tiba-tiba merasa takut, bila kematian itu juga akan datang kepadanya. Terutama apabila sang ajal akan menjemputnya dengan cara yang menakutkan.
 
Karena itu jika sebelumnya dia melarikan sepeda motornya dengan kecepatan di atas 60 kilometer perjam, maka kini dia hanya melarikan motornya dengan kecepatan 40 kilometer perjam, sekedar antisipasi, bilapun terjadi kecelakaan maka tidak akan terlalu parah.
Lelaki itu juga mulai rajin berdoa pada Tuhannya, "Ya Tuhanku, matikanlah aku dengan cara yang ringan dan tidak menyakitkan, dengan cara yang mulia, dengan cara yang mudah", pintanya di saat-saat ibadahnya.
 
Dia juga mulai sering mencari-cari referensi tentang kematian, tentang rasa sakit yang diderita saat ajal tiba. Dia memang tahu semua itu hanya cerita ilustrasi, karena pikirnya memang tak pernah seorangpun yang telah mati, bangkit untuk menceritakan sakitnya rasa mati itu. Namun ia terus membaca-baca, dia terus saja merasa penasaran tentang rasa sakitnya saat ajal menjemput.
 
Suatu waktu, saat isterinya telah tertidur pulas di sampingnya, tiba-tiba dia bangkit dan duduk bersila, kemudian mencoba menutup lubang hidungnya, hendak merasakan sensasi tak bernafas, 10 detik, 20 detik, 30 detik, sampai 50 detik, ketika jantungnya terasa tak kuat dan ia terlihat megap-megap, segeralah ditarik tangannya yang menutup lubang hidungnya.
 
Kemudian dia tercenung, setidaknya dia benar-benar bisa sedikit merasakan, bagaimana sakitnya mereka yang mati, yang tak bisa lagi melanjutkan nafasnya melalui hidungnya. Yang mungkin dadanya akan serasa meledak, ketika tak lagi ada oksigen, atau jantungnya pecah.
 
Besoknya, seakan tak puas dengan sensasi menutup hidung sebelumnya, kini di kamar mandi dia kembali mencoba menutup hidungnya lebih lama, lebih lama lagi, sampai mungkin dia akan benar-benar mati oleh perbuatannya itu. Dia tersengal-sengal, kemudian melepaskan tangannya dari hidungnya. Dia berujar lunglai, "pasti sakit sekali mati itu".
 
Suatu saat dalam perjalanan pulang. Dilihatnya dua orang pengendara sepeda motor di depannya. Kedua pengendara itu mengenakan pakaian adat sehingga tanpa helm sama sekali. Si wanita terlihat duduk menyamping, tidak menunggang, hal ini menurutnya berpotensi besar menyebabkan kecelakaan, terutama saat menikung dan di jalan bergelombang.
 
Benar saja, saat pengendara itu menikung terlalu tajam, tiba-tiba perempuan di belakangnya terjatuh, telihat dengan jelas bagaimana wanita itu melayang ke arah kiri, hampir saja di lindasnya, tetapi untunglah saat beriringan ia sempat mengantisipasi dengan mengambil jarak aman.
 
Kejadian itu cukup membuatnya trauma, masih terbayang jelas bagaimana wanita yang dibonceng itu berlumuran darah, pasti sakitnya tak terperikan pikirnya. Sesampainya di rumah diceritakannya kejadian itu pada isterinya.
 
Isterinya menasehati, "jangan terlalu dipikirkan, kita semua akan mati, nggak ada yang tau kapan dan dimana kita akan mati!" Kata isterinya. Tetapi tetap saja dia merasa takut, bahkan kini, saat berkendara, dipakainya dua lapis jaket, bawah dan atas, menggunakan sepatu kulit, tak lupa kaus tangan berpelapis.
 
Lelaki itu juga berencana membeli baju anti senjata tajam, dicari-carinya lewat google, dan ditemukannya beragam harga, mulai dari satu juta setengah hingga tiga juta. Baju itu dipikirnya perlu sebagai antisipasi di jalan, terutama saat pulang ke kampung halaman dan antisipasi ronda di kampungnya.
 
Melihat harganya terlalu mahal, dia mencoba mencari alternatif lain. Ya, membuat baju pelindung dari sandal, tampaknya masuk akal juga. Dia mulai mengumpulkan sandal-sandal bekas, kemudian dirangkainya menggunakan tali rapia.
 
Tiba-tiba dia teringat dengan kelewang (Sejenis parang panjang) yang diwarisinya dari kakeknya. Kelewang itu terlalu pendek menurutnya. Sehingga resikonya lebih tinggi daripada menggunakan senjata yang lebih jauh jangkauannya.
 
Maka dibuatnya sebuah tombak dari bambu runcing sepanjang tiga meter. Pikirnya seandainya dalam keadaan terdesak, maka setidak-tidaknya dia akan bisa menghindari pertarungan jarak dekat dengan menyambar-nyambar betis menggunakan bambu runcing itu sehingga resiko terkena sabetan maupun tusukan akan lebih kecil.
 
Melihat berbagai persiapan untuk kondisi darurat dirasa cukup bagus, terlihat wajahnya senang. Dia senyum-senyum sendiri. Seakan puas dengan apa yang telah dilakukannya. Isterinya bertanya, "Kak, emangnya mau perang ya?" Dijawabnya pertanyaan itu dengan nada ketus, "Kan persiapan ronda!" Katanya.
 
Saat dia berkeliling di halaman rumahnya, dilihatnya ada beberapa pagar yang rusak akibat tertimpa pohon, "wah, ini bisa jadi jalan masuk maling", pikirnya. Maka segera diperbaikinya. Ia terus berkeliling dan memperhatikan, barangkali masih ada celah-celah yang bisa menyebabkan maling dengan mudah masuk rumahnya.
Tak lupa juga dia periksa pintu dan jendela rumahnya. "Wah, palang pintunya terlalu sedikit ini, cuma dua, perlu ditambah jadi enam", pikirnya. Maka dipanggilnya isterinya.
 
"Yang, sayaaang".
"Ada apa". Jawab isterinya.
"Saya mau pergi beli palang pintu, palangnya terlalu sedikit". Katanya pada isterinya. Jadilah hari itu, palang pintu rumah semua enam-enam. Lega hatinya. Seolah dia telah merasa begitu aman dan terasa agak jauh dari mati itu.
 
Kini menurutnya semua potensi sudah diantisipasi. Mulai dari pakaian berkendara di jalan, senjata dan pelindung pergi meronda ataupun pergi ke daerah-daerah rawan. Juga pagar rumah dan palang pintu yang dianggapnya cukup bagus.
 
Pagi itu saat dia menonton TV, didengarnya berita eksekusi mati. Para pelaku ditembak mati tepat dengan sasaran jantung. Benarkah kematian itu menyakitkan? Tiba tiba dia merasa ragu, pikirnya pasti kematian itu begitu mudah. Pasti itu adalah kematian paling indah. Tak sampai satu detik menurutnya.
 
Apalagi orang yang jatuh dari pesawat, mereka pasti tak sempat merasakan sakit. Kejadian itu begitu cepat hanya dalam hitungan detik saja. Dari ketinggian sepuluh ribu kilometer jatuh menghantam bumi, maka saat tubuh menyentuh tanah, maka tak sampai sedetik juga langsung mati.
 
Kemudian mereka yang mati tenggelam. Paling tidak sampai satu menit di dalam air, pasti juga sudah mati. "Ah, begitukah kematian yang ditakutkan?" Tanyanya dalam hati.
 
Lalu dibukanya ponsel pintarnya, mencari-cari referensi tentang kematian dari situs-situs keagamaan. Semakin sering membaca-baca kematian versi situs keagamaan, semakin tentram hatinya. Ditemukannya juga banyak dari orang-orang sholeh itu justru merindukan saat-saat bertemu dengan Tuhannya.
 
Dia akhirnya menjadi menyesal, mengapa selama ini dia merasa takut mati. Bukankah kematian itu hanya sekali saja. Tidak ada yang kedua kali. Lagipula dengan kematian itu sebagai gerbang untuk bertemu dengan Tuhan.
 
Pertemuan yang tak terkatakan indahnya, melihat wajah Tuhan. "Ya kematian adalah pintu untuk bertemu Tuhan". Katanya. Kini hatinya mantap, tidak takut lagi. Bukan mengenai rasa sakit akan mati. Bukan mengenai cara seorang mati. Bukan mengenai dimana orang mati, yang harus dipersiapkan manusia, yang harus diantisipasi.
 
Tetapi menurutnya yang harus diantisipasi adalah hidup sesudah mati, kehidupan di alam lain yang membutuhkan persiapan panjang, dengan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan untuk mencari ridho Tuhan.


Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Komentar Anda

Posting Komentar (0)