Tahun 1985-1987, masa kecilku di Bimbi Rensing Raya, Lombok Timur, diwarnai dengan sebuah peristiwa yang tak terlupakan: sunatan. Aku, bersama kakakku Abdurrahman Sulaiman, dan beberapa sepupu dan tetangga, seperti Nursandi, Jaelatul Wathoni, Syamsiri, As, Makbul, dan Ridwan, menjalani ritual sunat bersama-sama.
Kebersamaan dan Gotong Royong
Sunat massal ini bukan hanya tentang ritual keagamaan, tetapi juga tentang kebersamaan dan gotong royong. Keluarga-keluarga di kampung kami bergotong royong untuk meringankan biaya sunat, pesta, dan persiapan lainnya. Tak lupa, beberapa ekor kambing disembelih untuk hidangan para tamu.
Keunikan Tradisi Sunat di Bimbi Rensing Raya
Tradisi sunat di Bimbi Rensing Raya memiliki beberapa keunikan yang tak terlupakan. Nenekku, Sinare, membuatkan kami sapuk atau ikat kepala khusus yang terbuat dari kain tenun. Selama beberapa hari setelah sunat, kami hanya mengenakan pakaian atasan dan di bawahnya terdapat baskom tanah berisi abu untuk menampung darah yang menetes.
Keunikan lain adalah pemberian ayam panggang besar untuk setiap anak yang disunat. Bagi kami yang masih kecil, makan ayam utuh seorang diri merupakan hal yang istimewa dan membanggakan. Pada masa itu, memotong ayam kampung hanya dilakukan pada hari-hari besar agama, karena ayam potong belum ada.
Kegembiraan dan Hadiah dari Para Tamu
Kenangan tak terlupakan lainnya adalah kegembiraan saat disunat. Kami mendapatkan banyak uang dari para tamu yang datang berkunjung. Pecahan uang yang berlaku saat itu masih Rp25, Rp50, dan Rp100. Nominalnya sudah lupa, tapi yang pasti, jumlahnya cukup besar bagi kami yang masih kecil.
Sebelum disunat, kami juga difoto oleh tukang foto. Di masa itu, tukang foto masih sangat jarang, sehingga momen ini menjadi sangat spesial.
Penutup
Sunat massal di Bimbi Rensing Raya menjadi sebuah tradisi yang tak terlupakan. Tradisi ini bukan hanya tentang ritual keagamaan, tetapi juga tentang kebersamaan, gotong royong, dan kegembiraan masa kecil yang tak tergantikan.
Komentar Anda