Al-Kisah saat itu waktu isya saya sedang berada di kamar bersama isteri, tiba tiba terjadi guncangan, rumah saya yang beratap seng segera menggelegar, isteri saya berlari lebih dahulu menyelamatkan diri, sementara saya menyambar putra terkecil saya, sedang anak yang paling besar sedang pergi ke masjid berjamaah sholat isya.
Kami berlari melalui pintu selatan rumah, karena pintu utara menghubungkan dengan rumah baru yang baru selesai di cor daknya pada hari sabtu atau satu hari sebelum gempa ini. Getaran gempa walaupun lebih besar dari yang 6,4 tidak terlalu saya rasakan karena posisi sedang berlari.
Saat sampai di luar tembok rumah, para tetangga juga sedang ribut. Tiba-tiba saya teringat rumah baru yang baru satu hari selesai di cor dan saya merasa sedih. Saya berpikir apakah dosa yang telah saya lakukan (saya pikir rumah yang baru selesai di dak itu sudah hancur) sehingga bencana ini terjadi. Karena bagaimanapun rumah baru yang kami bangun merupakan hasil hutang yang akan saya bayar selama 10 tahun ke depan di bank dengan menghabiskan setengah dari gaji saya.
Saya kemudian menyerahkan anak saya yang paling kecil kepada ibunya, kemudian menyalakan senter Hape sementara lampu listrik padam dan memanjat ke atas lantai rumah untuk memeriksa dak rumah yang baru selesai di cor itu, Al-Hamdulillah, hati saya lega, tidak ada keretakan akibat gempa tersebut. Saya segera turun kembali.
Setelah saya turun isteri saya menyuruh pergi menjemput anak ke masjid. Saya pun segera menjemput anak saya. Di sepanjang gang saya saksikan banyak tembok rumah tetangga rata dengan tanah. Ternyata gempa tadi memang cukup besar. Tidak sampai disitu, ada juga rumah tetangga yang sampai mau rubuh.
Sampai di rumah tetangga masih ribut. Telpon saya tiba-tiba berdering, orang tua menelpon menanyakan kabar saya dan kabar terkini mengenai rumah, beliaupun menginformasikan bahwa gempa yang terjadi berkisar 7,0 SR, beliau mengingatkan saya untuk waspada.
Tiba tiba datang informasi dari tetangga bahwa air laut akan segera naik. Info ini membuat saya panik karena laut hanya berjarak 800an meter dihitung lurus dari rumah saya. Tetangga-tetangga saya lihat mulai berkemas-kemas. Saya juga segera bersiap bersama isteri.
Saya mengambil 2 selimut tebal, sarung dan beberapa buah pempers untuk anak saya. Rencananya saya akan segera menyelamatkan diri mencari tempat berlindung yang lebih tinggi. Rencana awal saya akan pergi ke wilayah Kekait.
Beberapa saat kemudian kami sudah berboncengan 4 orang, menuju utara ke arah Kekait. Baru sampai gang depan sudah betemu dengan tetangga yang punya niat sama, melarikan diri sejauh-jauhnya dari rumah ke arah gunung.
Sampai di jalan besar jurusan Jati sela - Midang, ternyata jalan sudah penuh dengan orang-orang yang juga berboncengan bawa anak isteri, ada juga yang menggunakan kendaraan, suara ramai riuh terdengar.
Terlihat semua kendaraan menuju arah timur karena laut berada di sebelah barat. Dari gang-gang terlihat semakin banyak motor dan mobil yang keluar. Ada juga warga yang terlihat masih termangu-mangu berdiri di pinggir jalan.
Saya terus memacu kendaraan ke arah timur. Baru sampai di dekat kantor desa Sesela, terlihat banyak kendaraan mulai berbalik ke arah barat, saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa mereka berbalik. Tiba-tiba beberapa pengendara yang berbalik bilang bahwa Jembatan Midang Runtuh.
Mendengar itu saya jadi merasa kacau. Padahal untuk mencapai jarak segitu sudah habis 10 menit lebih, sementara jika betul akan ada tsunami minimal 30-40 menit akan datang setelah gempa. Segera saya memutar arah ke barat, rencana akan kembali ke rumah lalu mengambil jalan Tinggar (eks bandara selaparang) menuju ke arah timur.
Sayapun berlomba-lomba dengan orang-orang yang juga ingin menyelamatkan diri mereka, terlihat mobil-mobil agak kesusahan berbalik. Tiba-tiba ponsel kembali berdering, mertua menelpon menanyakan kabar.
Istri menjawab telepon sementara saya mengemudikan motor. Sambil jalan saya bermufakat dengan isteri mengenai ke mana rencana selanjutnya karena rencana pertama sudah gagal. Akhirnya kami sepakat kita langsung saja lari sekalian ke lombok timur karena kebetulan kami berasal dari Lombok Timur.
Sesampai di Tinggar, di jalan besar saya lihat sudah penuh sesak seperti orang pawai. Semua kendaraan mengarah ke arah timur. Kendaraan motor tidak bisa saya pacu karena ramai sesaknya orang. Mau berbalik juga rasanya percuma, karena waktu terus berjalan. Akhirnya terpaksa menunggangi motor walaupun lebih cepat berjalan kaki, sesekali saya menengok ke arah barat, berharap tsunami itu tak akan pernah datang.
Saking lambatnya pergerakan kendaraan karena penuh sesak, banyak orang memilih meninggalkan motornya di pinggir-pinggir jalan dan di depan toko-toko, waktu terasa makin lambat, sementara banyak yang saya lihat semakin panik karena pergerakan sangat lambat.
Pas berada di dekat SPBU Sebelah timur gedung Al-Ihsan di sebelah selatan eks bandara selaparang, saya lihat seorang gadis menangis meraung-raung memanggil ayah-ibunya. Dia bilang kedua orang tuanya ada di rumah dekat pantai, sementara dia yang membawa kendaraan bermotor sedang keluar, untuk pergi ke arah barat tidak bisa karena kerumunan menuju arah timur. Sehingga dia sangat khawatir akan keselematan ibunya.
Belum sampai 10 meter dari gadis, tiba-tiba bumi kembali berguncang, terdengar riuh rendah ibu-ibu histeris. Semua terdengar takut sambil menyebut nyebut kebesaran Tuhan, guncangan itu sekitar 2/3 kali. Kami semua ketakutan.
Waktu sudah mendekati sekitar 30 menit pasca gempa, saya semakin panik, demikian juga isteri, akhirnya sambil di atas motor kami semua bermaaf-maafan pasrah jika terjadi apa yang ditakutkan.
Motor terus kami pacu walaupun faktanya lebih cepat berjalan kaki, sampai akhirnya kami tiba di Cakranegara, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 24.00, bayangkan dari sekitar pukul 20.00 WITA cuma baru nyampai di Cakra sampai pukul 24.00 WITA, sudah jalan 4 jam, padahal dalam keadaan normal bisa kita tempuh dalam waktu 15-20 menit saja.
Walaupun sudah pukul 24.00, kami terus melanjutkan perjalan, melewati bertais, kendaraan sudah bisa berjalan dengan cepat seperti normal. Sesampai di Lombok City Center (LCC), Saya melihat banyak orang berhenti dan berdiam di situ. Saya terus melanjutkan perjalanan sampai di Pertamina sesudah Tanak Tepong Narmada, jam sudah menunjukkan pukul 00.30 WITA.
Rasanya tak mungkin untuk melanjutkan perjalanan lagi, karena anak saya yang masih bayi tak akan kuat, sementara saya sendiri tanpa memakai jaket, juga isteri saya, kami hanya membawa selimut. Akhirnya kami putuskan untuk menginap di SPBU tersebut.
Banyak teman kami di situ, mereka duduk duduk di halaman SPBU, sementara karena kami membawa bayi, kami masuk ke dalam mushalla dan berteduh, istri lalu menidurkan bayi berbekal selimut yang dibawa.
Saya baru teringat bahwa isteri saya belum makan malam, saya kemudian mencarikan roti di kedai yang ada. Ternyata kedainya tutup, tetapi para petugas di kantin itu menyediakan roti gratis bagi warga yang ada. Saya kemudian mengambil 2 potong roti untuk isteri saya.
Di dalam Mushalla, saya bertemu dengan warga ampenan yang melarikan diri ke sana. Mereka bercerita saat kejadian gempa, salah seorang anggota keluarga meninggal, tetapi mereka disuruh menyelamatkan diri dulu oleh warga yang lain, sehingga mereka menyelamatkan diri sampai di SPBU itu, mereka membawa seorang bayi dan dua orang anak lain sehingga mereka menaiki motor berlima.
Selfie di SPBU |
Saya bersukur bahwa malam itu tsunami yang kami takutkan tidak terjadi. Dan paginya kami melanjutkan perjalanan pulang ke Lombok timur.
Komentar Anda