Saya lihat juga mertua saya yang ada di dekat saya turut berpegangan pada pohon srikaya yang lain, yang tumbuh berjejer di samping rumah. Sementara Bapak saya terlihat duduk di tanah sambil menunggu. Dan bumi masih saja seperti diayun ke kiri dan kanan.
Saya segera memanggil anak saya Sanjaya yang sedang mandi di kamar mandi. Anak saya keluar tergopoh-gopoh sambil berdiri di dekat tiang bangunan rumah saya yang saat itu masih dalam proses pembangunan. Kami semua memanggilnya agar segera menjauh dari area bangunan. Sementara isteri saya sudah lebih dahulu berlari sambil menggendong anak saya yang paling kecil, Zain Al-Maida.
Demikianlah ketakutan saya akan gempa segera berakhir seiring hilangnya goyangan bumi, karena kami tak pernah tahu bahwa gempa-gempa yang lebih besar masih akan terus terjadi.
Cuma mertua saya agak merasa pusing saking kerasnya getaran gempa itu menurutnya dan membuatnya menjadi trauma, sehingga minta untuk di "popot" (ditenangkan).
Saya cukup bersyukur karena pagi itu kebetulan hari minggu, di mana para pekerja yang bekerja di rumah saya kebetulan lagi pulang ke lotim dalam rangka Hultah NWDI sehingga tidak bekerja. Dapat saya bayangkan seandainya posisi mereka sedang bekerja berada di atas "Lagan" (kerangka kayu), pastilah guncangan gempa akan menjatuhkan mereka dan akan membuat cedera.
Rumah masih dengan bambu-bambu penyangga |
Siangnya barulah terdengar kabar mengenai kedahsyatan gempa itu yang merenggut korban nyawa di Lombok Timur serta korban rumah yang hancur dan luluh lantak.
Komentar Anda